Berwatak pemberani dan sedikit nakal karena sering mencuri buku sekolah milik kakaknya untuk dijual.
Baca Juga: Siapa Jonathan Khemdee? Ini Profil Bek Timnas Thailand yang Bersikap 'Dingin' ke Phyadeth Rotha
Bahkan ia tak dapat menyelesaikan pendidikannya akibat kenakalan tersebut. Sempat ikut paman di Bogor, Masagung kembali ke Jakarta pada usia 13 tahun.
Berhadapan dengan kehidupan yang keras, Masagung kecil melakukan berbagai hal untuk bertahan hidup, mulai dari menjadi 'manusia karet' hingga pedagang rokok keliling.
Seiring berjalannya waktu, karakter pemberani Masagung berujung pada berdirinya cikal bakal toko buku Gunung Agung, yakni Tay San Kongsie.
Tay San Kongsie didirikan secara bersama-sama oleh Tjio Wie Tay, The Kie Hoat, dan saudagar rokok bernama Lie Tay San sebagai pemilik modal terbanyak.
Pada awalnya mereka memang berjualan rokok, namun sedikit demi sedikit beralih pada penjualan buku-buku bekas Belanda.
Dengan pertimbangan keuntungan yang lebih besar, akhirnya mereka memutuskan untuk fokus berjualan buku.
Baca Juga: Phyadeth Rotha dan Marselino Ferdinan, Gak Bahaya ta?
Singkat cerita, usai pernikahannya dengan Hian Nio pada 1951, ia terus mengembangkan bisnis hingga tercetus sebuah nama toko buku Gunung Agung.
Nama Gunung Agung sendiri merupakan terjemahan nama Wie Tay yang berarti gunung besar.
Perkembangan bisnis toko buku yang semakin pesat, mendorong Masagung untuk menggelar pameran pada 8 September 1953.
Saat itulah titik balik kesuksesan Tjio Wie Tay atau Masagung dalam merintis toko buku Gunung Agung.
Pada tahun-tahun berikutnya, ia rutin mengadakan pameran buku sehingga membawanya kepada sosok Bung Karno.
Nama besar Proklamator banyak berpengaruh terhadap perkembangan toko buku Gunung Agung dari tahun ke tahun.