Mengerti.id - Pemerintah Amerika Serikat memperingatkan Inggris setelah kasus dugaan spionase China runtuh di pengadilan, menimbulkan kekhawatiran serius mengenai keandalan London sebagai mitra intelijen. Peringatan keras ini disebut berpotensi merusak hubungan istimewa antara Inggris dan AS yang telah terjalin selama puluhan tahun.
Dilansir dari Euronews pada Rabu 8 Oktober 2025, krisis ini muncul setelah jaksa Inggris memutuskan untuk membatalkan dakwaan terhadap dua tersangka mata-mata China. Keputusan itu diambil setelah pemerintah Inggris menolak memberikan bukti yang menunjukkan bahwa China merupakan ancaman bagi keamanan nasional, sebuah syarat hukum penting dalam Official Secrets Act Inggris.
Kasus tersebut melibatkan dua pria, Christopher Cash (30) dan Christopher Berry (33), yang dituduh memata-matai untuk Partai Komunis China antara tahun 2021 hingga 2023. Persidangan keduanya dijadwalkan dimulai di Pengadilan Mahkota Woolwich beberapa minggu sebelum akhirnya dibatalkan secara mendadak.
Menurut laporan GB News, kegagalan kasus ini telah mengguncang komunitas intelijen dan memicu kritik tajam dari pejabat senior Gedung Putih. Seorang pejabat tinggi pemerintahan Presiden Donald Trump mengatakan bahwa Washington kini “semakin khawatir terhadap keandalan Inggris dalam menjaga informasi rahasia.”
“Pemerintah AS sangat berhati-hati dalam berbagi informasi dengan negara-negara asing yang berpotensi berada di bawah tekanan atau pengaruh musuh,” kata pejabat tersebut. “Kami akan lebih waspada di yurisdiksi di mana lawan kami dapat bertindak tanpa konsekuensi.”
Komentar itu menandakan meningkatnya ketegangan diplomatik antara kedua sekutu lama tersebut, terutama di tengah meningkatnya kekhawatiran global terhadap kegiatan intelijen China di Eropa.
Sumber di Gedung Putih menyebut bahwa keputusan pengadilan Inggris untuk tidak melanjutkan proses hukum dianggap sebagai tanda lemahnya komitmen terhadap keamanan nasional. Pejabat AS bahkan menyebut langkah itu bisa “mengundang keberanian baru bagi operasi intelijen China di Barat.”
Ketua Komite China di DPR AS, John Moolenaar, juga menyuarakan keprihatinannya. Ia mendesak pemerintah Inggris untuk memastikan “keadilan dijalankan sebagaimana mestinya,” sambil memperingatkan bahwa kegagalan untuk menindak pelaku dapat mendorong kegiatan spionase China semakin agresif.
“Inggris tidak boleh mengirimkan sinyal bahwa mata-mata China bisa lolos tanpa hukuman,” ujar Moolenaar dalam pernyataan resminya. “Kegagalan ini harus segera diperbaiki agar kredibilitas hukum dan intelijen tetap terjaga.”
Pengamat menilai, insiden ini juga menguji kekuatan hubungan intelijen antara London dan Washington yang selama ini dikenal sangat erat. Kedua negara menjadi anggota utama Five Eyes, aliansi intelijen yang juga melibatkan Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
Namun, setelah kasus ini, para pejabat AS dikabarkan meninjau ulang tingkat informasi sensitif yang dibagikan kepada Inggris. Hal ini dilakukan untuk mencegah potensi kebocoran yang bisa dimanfaatkan oleh negara-negara seperti China atau Rusia.
Kasus ini menjadi perhatian besar di Inggris karena melibatkan isu sensitif tentang bagaimana negara tersebut mendefinisikan ancaman terhadap keamanan nasional. Keengganan pemerintah untuk secara terbuka menyebut China sebagai ancaman dianggap menjadi penyebab utama kegagalan kasus ini di pengadilan.
Sementara itu, para analis politik menilai bahwa langkah pemerintah Inggris yang berhati-hati mungkin didorong oleh pertimbangan diplomatik dan ekonomi, mengingat hubungan perdagangan yang masih kuat dengan Beijing.
Meski begitu, peringatan dari Gedung Putih ini menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak akan mentoleransi kelengahan dalam menghadapi ancaman spionase dari China. Ketegangan ini juga berpotensi memperumit hubungan trans-Atlantik di tengah meningkatnya rivalitas global antara kekuatan Barat dan Asia.***