Mengerti.id - Enam maskapai besar asal Tiongkok secara resmi menolak rencana pemerintahan Presiden Donald Trump untuk melarang mereka melintasi wilayah udara Rusia dalam penerbangan menuju Amerika Serikat. Mereka memperingatkan bahwa kebijakan tersebut akan memperpanjang waktu tempuh, menaikkan harga tiket, dan mengganggu ribuan jadwal perjalanan penumpang.
Menurut laporan Reuters pada Selasa, 14 Oktober 2025, maskapai yang mengajukan keberatan termasuk Air China, China Eastern Airlines, China Southern Airlines, Hainan Airlines, XiamenAir, dan Sichuan Airlines. Keenam maskapai tersebut mengajukan banding mendesak ke Departemen Transportasi AS (USDOT) menyusul usulan pelarangan yang diumumkan pada 9 Oktober.
Pemerintah AS menilai bahwa maskapai Tiongkok memiliki “keunggulan kompetitif yang tidak adil” karena masih diizinkan menggunakan wilayah udara Rusia. Sejak Maret 2022, maskapai Amerika seperti American Airlines, Delta, dan United tidak lagi dapat terbang melintasi Rusia akibat larangan balasan dari Moskow setelah invasi ke Ukraina.
Dalam dokumen resminya, China Eastern Airlines memperingatkan bahwa larangan tersebut akan memperpanjang durasi penerbangan antara dua hingga tiga jam pada beberapa rute utama seperti Shanghai–New York. “Kebijakan ini akan merugikan kepentingan publik dan menyulitkan penumpang dari kedua negara,” tulis maskapai tersebut dalam pengajuan resminya.
China Southern Airlines juga menilai kebijakan ini berpotensi mengacaukan rencana perjalanan sedikitnya 2.800 penumpang yang dijadwalkan terbang antara 1 November hingga 31 Desember mendatang, terutama selama musim liburan akhir tahun. Sementara Air China memperkirakan sekitar 4.400 penumpang dapat terdampak jika aturan tersebut berlaku selama periode Thanksgiving dan Natal.
Keenam maskapai menegaskan bahwa penerbangan yang lebih lama akan meningkatkan konsumsi bahan bakar dan biaya operasional, yang pada akhirnya akan berujung pada kenaikan harga tiket bagi seluruh penumpang. Mereka menyebut kebijakan ini tidak hanya akan membebani maskapai, tetapi juga publik yang mengandalkan konektivitas udara antara kedua negara.
Dilansir Mengerti.id dari Business Insider, pemerintahan Trump menargetkan tujuh maskapai Tiongkok dengan argumen bahwa izin melintasi Rusia memberi mereka keuntungan ekonomi signifikan dibanding maskapai Amerika. Larangan tersebut diharapkan menciptakan “lapangan persaingan yang seimbang” dalam industri penerbangan lintas Pasifik.
Namun, para analis menilai dampak operasional dari kebijakan ini mungkin terbatas. Berdasarkan data pelacakan penerbangan, hanya sebagian kecil rute maskapai Tiongkok yang masih menggunakan jalur udara Rusia, termasuk penerbangan China Eastern rute New York (JFK) – Shanghai dan China Southern rute JFK – Guangzhou.
David Yu, pakar penerbangan dari New York University Shanghai, menjelaskan bahwa larangan penerbangan AS di wilayah udara Rusia telah menambah waktu tempuh dua hingga tiga jam pada rute Amerika–Tiongkok, sehingga meningkatkan konsumsi bahan bakar dan menekan profitabilitas maskapai AS.
Organisasi Airlines for America, yang mewakili maskapai besar AS, mendukung penuh langkah pemerintah. Mereka menyebut kebijakan ini sebagai “langkah penting untuk memulihkan keadilan kompetitif antara maskapai AS dan Tiongkok”. United Airlines bahkan mendesak agar larangan tersebut diperluas mencakup Cathay Pacific Airways yang berbasis di Hong Kong karena juga menggunakan wilayah udara Rusia.
Meski demikian, maskapai Tiongkok menilai kebijakan ini bermotif politik dan tidak mempertimbangkan dampak terhadap penumpang internasional. Mereka meminta USDOT meninjau kembali usulan tersebut dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan sosial kedua negara.
USDOT sendiri memberikan waktu hanya dua hari kerja bagi maskapai Tiongkok untuk memberikan tanggapan resmi. Keputusan akhir terkait kebijakan ini diperkirakan akan diumumkan pada awal November, menjelang musim liburan akhir tahun.
Rencana pelarangan ini menambah ketegangan diplomatik antara AS dan Tiongkok, yang sebelumnya telah berselisih dalam isu perdagangan, teknologi, dan keamanan udara. Jika diberlakukan, kebijakan tersebut dapat menjadi babak baru dalam persaingan geopolitik yang kini merambah sektor penerbangan komersial.***