Mengerti.id - Kasus dugaan penjualan solar murah yang menyeret tiga mantan pejabat Pertamina Patra Niaga membuka tabir rapuhnya batas antara kepentingan bisnis dan tanggung jawab regulasi di tubuh perusahaan pelat merah tersebut.
Dalam salinan surat dakwaan yang diperoleh tim Jaringan Promedia, terungkap bahwa para pejabat Pertamina Patra Niaga menandatangani kontrak penjualan solar non-subsidi di bawah harga dasar (bottom price) yang telah ditetapkan dalam pedoman internal.
Nama-nama seperti Riva Siahaan, Maya Kusmaya, dan Edward Corne disebut dalam dokumen tersebut karena diduga meloloskan kebijakan yang tidak memperhatikan prinsip profitabilitas maupun harga dasar yang berlaku.
“Penjualan solar di bawah bottom price tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp9,41 triliun,” bunyi dakwaan yang disusun berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Nomor 26/SR/LH/DJPI/PKN.02/06/2025.
Persoalan dalam kasus ini bukan sekadar soal angka, tetapi menyangkut penyimpangan filosofi kebijakan publik. Regulasi yang seharusnya menjadi benteng perlindungan aset negara justru dimanfaatkan oleh oknum di dalam institusi sendiri untuk kepentingan kelompok tertentu.
Padahal, Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina Patra Niaga No. A02-001/PNC200000/2022-S9 disusun untuk menjaga transparansi dan integritas bisnis. Ironisnya, aturan tersebut justru dijadikan tameng agar praktik manipulatif tampak legal di atas kertas.
Menurut Fuad Abdullah, pengacara sekaligus pegiat hukum dari Merah Putih Watch, kasus ini mencerminkan penyalahgunaan regulasi secara sistemik di lingkungan BUMN.
“Kalau aturan internal dipelintir untuk memberi ruang keuntungan kepada korporasi besar, itu bukan lagi pelanggaran administratif, tapi pengkhianatan terhadap fungsi publik BUMN,” tegas Fuad.
Dalam dakwaan terhadap Edward Corne, muncul dugaan adanya perlakuan khusus terhadap dua pemasok asing, yakni BP Singapore Pte. Ltd. dan Sinochem International Oil (Singapore) Pte. Ltd. Ia disebut membocorkan informasi rahasia terkait formula harga (alpha import) untuk memberikan keuntungan pada mitra tertentu.
Di sisi lain, negara justru harus menanggung kompensasi BBM bersubsidi lebih dari Rp13 triliun, akibat mekanisme perhitungan yang tidak efisien.
Fuad menilai praktik semacam ini menunjukkan bahwa kebijakan energi nasional berjalan di dua jalur berbeda.
“Ada jalur kebijakan untuk publik, tapi ada juga jalur khusus untuk segelintir pemain yang punya akses ke pejabat,” ujarnya.
“Dan ketika pasar bisa disetir oleh segelintir orang dalam sistem, kepentingan publik hanya tinggal jargon.”
Menanggapi hal tersebut, Vice President Corporate Communications PT Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso, menyatakan bahwa pihaknya akan menghormati seluruh proses hukum yang tengah berlangsung.
“Kita hormati dan ikuti saja proses hukum yang berjalan ya,” kata Fadjar saat dikonfirmasi Jaringan Promedia, Jumat, 17 Oktober 2025.***