news

Terumbu Karang Mati Massal, Bumi Masuki Realitas Baru Iklim

Senin, 13 Oktober 2025 | 17:57 WIB
ILUSTRASI: Pemutihan terumbu karang terbesar dalam sejarah menandai era baru krisis iklim yang tak bisa dibalik, menurut laporan ilmuwan dunia. (pixabay/mfuente)

Mengerti.id - Para ilmuwan dunia memperingatkan bahwa Bumi telah resmi melewati titik kritis iklim pertamanya setelah terumbu karang hangat di seluruh dunia mengalami kematian massal. Peristiwa ini dianggap sebagai tanda bahwa planet kita telah memasuki babak baru perubahan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan.

Menurut laporan Phys.org pada Minggu, 12 Oktober 2025, temuan ini berasal dari laporan ilmiah besar berjudul Global Tipping Points Report 2025 yang dirilis oleh tim peneliti internasional yang terdiri dari 160 ilmuwan dari berbagai negara. Laporan tersebut disusun menjelang pertemuan penting tentang perubahan iklim di Brasil.

Laporan yang dipimpin oleh Profesor Tim Lenton dari University of Exeter menyatakan bahwa terumbu karang telah melampaui ambang batas suhu yang dapat mereka toleransi. Dengan suhu global yang kini meningkat hingga 1,4 derajat Celsius dibandingkan era praindustri, batas 1,2 derajat yang dianggap aman untuk kelangsungan hidup terumbu karang kini telah terlampaui.

Sejak tahun 2023, lebih dari 80 persen terumbu karang dunia telah mengalami pemutihan (bleaching) paling parah dalam sejarah. Banyak ekosistem laut yang dulunya penuh warna kini berubah menjadi padang rumput laut mati yang tertutup alga.

Menurut laporan Time pada Minggu, 12 Oktober 2025, para peneliti memperingatkan bahwa kejadian ini bukan sekadar ancaman masa depan, melainkan kenyataan yang sedang berlangsung. Profesor Lenton menegaskan bahwa dunia telah melangkah ke era baru di mana titik kritis iklim bukan lagi prediksi, tetapi kenyataan ilmiah.

“Kita tidak bisa lagi menganggap titik kritis iklim sebagai risiko di masa depan,” kata Lenton kepada wartawan. “Kematian massal terumbu karang sudah terjadi dan berdampak langsung pada jutaan orang yang menggantungkan hidup pada ekosistem laut ini.”

Krisis ini membawa dampak besar bagi sekitar satu miliar orang di dunia yang menggantungkan kebutuhan pangan, perlindungan pesisir, dan mata pencaharian dari keberadaan terumbu karang. Padahal, meski hanya menutupi kurang dari 1 persen dasar laut, ekosistem ini menjadi rumah bagi sekitar 25 persen spesies laut di seluruh dunia.

Menurut laporan Phys.org, nilai ekonomi terumbu karang global mencapai sekitar 2,7 triliun dolar AS setiap tahun, termasuk sektor perikanan, pariwisata, hingga perlindungan alami dari badai dan erosi pantai.

Kondisi saat ini juga diperkuat oleh data dari International Coral Reef Initiative yang melaporkan bahwa 84 persen terumbu karang global telah mengalami tekanan panas pada level yang menyebabkan pemutihan massal. Para ilmuwan menegaskan bahwa hanya dengan penurunan suhu global kembali ke level sekitar 1 derajat Celsius atau lebih rendah, sebagian terumbu karang mungkin masih bisa diselamatkan. Meski begitu, peluangnya semakin kecil tanpa upaya konservasi intensif.

Beberapa wilayah laut tropis masih memiliki potensi untuk menjadi tempat perlindungan alami bagi sisa ekosistem karang. Namun para peneliti menilai upaya pemulihan akan sangat sulit tanpa perubahan besar dalam kebijakan global terkait emisi karbon dan perlindungan laut.

Profesor Lenton dan timnya menilai bahwa laporan ini menjadi peringatan serius bagi dunia menjelang perundingan iklim di Brasil. Ia menambahkan bahwa masyarakat global harus menerima kenyataan bahwa Bumi sudah mulai berubah secara permanen akibat ulah manusia.

“Ini bukan sekadar laporan ilmiah, melainkan sinyal darurat bagi planet kita,” ujar Lenton dalam pernyataannya. “Setiap tahun yang kita buang tanpa tindakan berarti mempersempit peluang untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati laut.”

Dilansir dari Time, laporan ini juga menyoroti bahwa meski sebagian kecil terumbu karang mungkin mampu bertahan, sistem laut secara keseluruhan telah kehilangan keseimbangan ekologisnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia kini hidup di era yang sangat berbeda dibanding beberapa dekade lalu. Perubahan ini menjadi bukti nyata bahwa krisis iklim bukan sekadar ancaman abstrak. Dunia kini menghadapi konsekuensi langsung dari peningkatan suhu global yang telah lama diabaikan.***

Terkini