Mengerti.id - Sebentar lagi, Mahkamah Konstitusi membacakan hasil keputusan sengketa pilpres 2024. Pasalnya, meski perolehan suara dari salah satu pasangan calon menyentuh angka melebihi 50,1% tetapi masih ada beberapa pihak yang mempersoalkan. Terutama terkait proses pencalonan dan presiden yang dianggap ‘cawe-cawe’
Seperti diketahui, Al-Qur’an cukup banyak bercerita tentang kekuasaan. Sampai membuat Nabi Musa menjadi salah satu nabi yang paling banyak disebutkan oleh Al-Qur’an (sebanyak 136 kali). Hal ini karena proses dialektis beliau menentang status quo: Fir’aun, yang oleh Allah dianggap sesat dan menyesatkan.
Kita bisa banyak belajar dari kisah-kisah dalam Al-Qur’an sebagai benteng pertahanan diri agar tidak terjerumus dalam ‘sihir Fir’aun’ yang tentu menyesatkan. Secara umum, pada tahap yang paling mendasar, sihir ini mencoba mematikan nalar kritis seseorang pada kekuasaan. Dengan cara menolak mentah-mentah tanpa menimbang apapun pendapat yang disampaikan.
Lalu, bagaimana Al-Qur’an menyebutkan ciri-ciri dari pendukung buta dalam hal kekuasaan?
Huruf Fa (ف) yang artinya maka dan Tsumma (ثمّ) yang berarti kemudian adalah contoh huruf ‘athaf (kata hubung). Secara semantik, kedua huruf ‘athaf ini memiliki fungsi yang berbeda. Kata tsumma (ثمّ) menunjukkan makna tarakhi (التراخي) yakni adanya interval dan jarak waktu yang cukup lama serta panjang diantara dua hal.
Sedangkan jika menggunakan kata fa (ف) maka menunjukkan makna ta’qib (التعقيب) yaitu langsung tanpa ada interval dan jarak waktu yang lama. Dua huruf ‘athaf ini dipakai Allah untuk menceritakan ciri orang yang -dalam tanda petik- punya kesamaan sifat dengan musuh orang-orang beriman termasuk Nabi Musa: Fir’aun.
Termaktub dalam Al-Qur’an, ketika Musa datang menghadap Fir’aun dan menjelaskan tentang kebenaran Tuhan, maka Fir’aun membantah dan mendustakan kebenaran yang disampaikan Musa dengan huruf fa (ف). Artinya, Fir’aun enggan mengolah apa yang disampaikan oleh Musa dan langsung menentang dengan membantahnya seketika itu juga. Seperti dalam surat An-Nazi’at ayat 21:
فَكَذَّبَ وَعَصَى
“Dia mendustakan dan membangkang”
Bisa digarisbawahi, ciri pertama pendukung buta kekuasaan adalah menolak mentah-mentah tanpa mengolah pendapat dari pihak ‘sebelah’. Karena hal ini adalah bagian dari ciri ‘sihir Fir’aun’, maka sebagai orang yang beriman kita diminta untuk menjauhinya.
Lalu ketika Musa memberikan bukti nyata mukjizat yang diberikan Allah, Fir’aun masih berusaha menentangnya padahal sudah tahu kebenaran yang dibawa Musa. Ketika berpaling dan berusaha mengumpulkan tukang sihir untuk melawan Musa, Allah tidak menggunakan huruf ‘athaf fa (yang berarti; seketika) untuk menggambarkannya. Tetapi menggunakan kata tsumma (ثمّ) yang memiliki makna Fir’aun butuh waktu yang lama untuk mempersiapkan perlawanan kepada Musa. Oleh karena itu sebenarnya Fir’aun kesusahan untuk menentang apa yang disampaikan oleh Musa, tetapi egoisme dalam dirinya melebihi kapasitasnya sebagai manusia.
ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى
“Kemudian dia berpaling dan berusaha mengumpulkan bala bantuan.” QS: An-Nazi’at 22.
Dari penjabaran di atas kita bisa mengambil pelajaran agar menjauhi sifat yang dimiliki oleh Fir’aun dalam menyikapi urusan kekuasaan. Sejatinya, Al-Qur’an bukan sekadar menceritakan kisah. Tetapi apa yang disebutkan dalam ayat-ayatnya adalah hukum alam yang selalu mengulang.
Meski berangkat dari kisah terdahulu, kejadian-kejadian hari ini secara umum sudah digambarkan dalam Al-Qur’an. Begitu pun perihal Fir’aun, tidak hanya ada pada zaman Musa saja. Tetapi akan terus ada pada setiap zaman, setiap waktu, setiap negara, bahkan boleh jadi di Indonesia.***
Artikel Terkait
Apa Perbedaan Nuzulul Quran dengan Lailatul Qadar di Bulan Ramadhan? Simak Arti, Amalan dan Waktunya
Syahru Romadhona Alladzi Unzila, Al Baqarah Ayat 185 tentang Nuzulul Quran, Teks Arab, Latin, terjemahan dan Tafsirnya
Quran Manga Itu Apa, Benarkah Membantu Orang Jepang Untuk Mudah Belajar Agama Islam?