Mengerti.id - Kekhawatiran tentang terjadinya "kiamat energi" akibat lonjakan kebutuhan daya untuk kecerdasan buatan (AI) ternyata dinilai terlalu berlebihan. Meski pusat data berbasis AI memang mengonsumsi listrik jauh lebih besar dibandingkan pusat data tradisional, sejumlah laporan menilai prediksi lonjakan kebutuhan energi telah dibesar-besarkan oleh spekulasi dan gelembung pasar.
Dilansir dari The Verge, Senin, 22 September 2025, banyak proyeksi energi yang beredar ternyata memasukkan rencana pusat data yang sifatnya spekulatif. Proyek-proyek tersebut kemungkinan besar tidak semuanya akan terwujud, sehingga proyeksi kebutuhan daya pun menjadi terdistorsi.
Laporan serupa dari TechBuzz, Senin, 22 September 2025, menyebutkan bahwa konsumsi energi per rak server memang lebih tinggi untuk AI dibandingkan sistem IT tradisional. Meski begitu, hal ini tidak serta-merta akan memicu lonjakan permintaan daya yang eksponensial di tingkat jaringan listrik nasional.
Pakar menilai fenomena ini mirip dengan gelembung teknologi sebelumnya, di mana antusiasme pasar sering kali melampaui permintaan jangka panjang yang berkelanjutan. Kondisi ini bisa memicu ketakutan berlebihan terhadap kapasitas energi.
Menurut The Verge, hambatan pada rantai pasok dan koneksi jaringan listrik yang lambat akan menjadi faktor penghambat alami pertumbuhan kebutuhan energi. Artinya, meskipun permintaan meningkat, distribusi tidak akan terjadi dalam tempo cepat.
Tekanan terhadap utilitas energi akibat proyeksi berlebihan juga berpotensi menimbulkan dampak negatif lain. Salah satunya adalah pembangunan pembangkit berbasis bahan bakar fosil yang tidak diperlukan, yang bisa meningkatkan polusi.
Selain itu, konsumen juga berisiko menanggung biaya lebih tinggi. Jika perusahaan energi melakukan investasi besar berdasarkan proyeksi yang dilebih-lebihkan, biaya tambahan akan dibebankan kepada pengguna akhir.
TechBuzz menegaskan pentingnya mengedepankan energi terbarukan untuk mengurangi risiko tersebut. Perencanaan yang transparan dan realistis akan membantu mengelola kebutuhan daya dengan lebih efisien.
The Verge juga menambahkan bahwa meski beban AI pada jaringan energi nyata, narasi tentang kehancuran energi berskala besar tidak didukung oleh bukti saat ini. Justru, dengan perencanaan hati-hati, tantangan tersebut dapat diatasi.
Kondisi pasar yang tengah hype ikut memperkeruh persepsi publik. Gelembung pasar sering kali membuat estimasi permintaan tidak akurat dan menyesatkan arah kebijakan.
Laporan TechBuzz menyoroti bahwa backlog proyek jaringan listrik dan hambatan teknis lain berfungsi sebagai rem alami. Faktor ini mengurangi potensi terjadinya ledakan kebutuhan daya yang tidak terkendali. Meski begitu, pihak utilitas tetap harus waspada. Transparansi dalam laporan dan penggunaan energi hijau perlu diprioritaskan untuk menjaga keandalan sistem listrik.
Narasi tentang krisis energi global akibat AI dinilai terlalu menyederhanakan masalah. Realitanya, persoalan lebih kompleks karena melibatkan aspek ekonomi, teknologi, hingga kebijakan publik.
Dengan pendekatan hati-hati, para analis percaya bahwa pertumbuhan pusat data berbasis AI masih dapat diakomodasi tanpa mengorbankan kestabilan jaringan listrik. Masyarakat tetap perlu mewaspadai risiko peningkatan biaya listrik, tetapi kepanikan berlebihan seputar kiamat energi tidak sepenuhnya beralasan.***