Mengerti.id - RKUHP adalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Akhirnya resmi disahkan oleh DPR RI pada rapat Paripurna yang digelar di kompleks parlemen pada Selasa, 6 Desember 2022.
Dengan demikian RKUHP terbaru itu akan menggantikan KUHP lama yang merupakan warisan kolonialisme Belanda di Indonesia. RKUHP baru itu akan mengalami masa transisi 3 tahun dan berlaku efektif pada 2025.
Sebelum RKUHP disahkan menjadi Undang-Undang, Wakil Ketua DPR RI bertanya kepada para peserta rapat paripurna.
Baca Juga: Apa itu RKUHP? Ini Penjelasan dan Sejarah KUHP di Indonesia
''Apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?," ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat Paripurna Selasa, 6 Desember 2022.
''Setuju,'' jawab peserta rapat paripurna DPR RI.
Kemudian, Wakil DPR Sufmi Dasco mengetukkan palunya sebagai tanda disahkan RKUHP menjadi undang-undang. Selanjutnya, KUHP terbaru itu diserahkan ke pemerintah untuk dibubuhkan tanda tangan Presiden RI Joko Widodo dan diberi nomor untuk masuk ke dalam lembar negara.
Sebelumnya, Komisi III DPR telah menyetujui RKUHP dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Keputusan tersebut diambil dalam rapat keputusan tingkat I yang digelar bersama pemerintah pada 24 November 2022 lalu.
Baca Juga: Buntut Tragedi Kanjuruhan, Kapolda Jabar Umumkan 106 Pasal SOP Pertandingan Sepak Bola
Namun, sejumlah kalangan publik mulai dari jurnalis, praktisi hukum, hingga aktivis HAM serta mahasiswa melihat materi dalam draft RKUHP masih kacau dan memuat pasal-pasal 'bermasalah'.
Berikut adalah beberapa pasal yang dinilai publik bermasalah dan bisa mengarah ke kriminalisasi dalam draf RKUHP dalam naskah RKUHP terbaru, diakses Mengerti.id dari laman resmi Kementerian Hukum dan HAM RI.
1. Penghinaan terhadap presiden
Pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.
Pasal 218 ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.