Kakek dan nenek menyambut kami dengan bahagia, tak ketinggalan nenek mencium pipiku sambil mengatakan “kangen” padaku.
Hari itu, kami habiskan dengan bercengkrama dan makan-makanan yang sudah disiapkan oleh nenek dan Bibi Rina dari pagi tadi.
Bibi Rina adalah tetangga yang selalu membantu kakek dan nenekku sekaligus menjaga mereka jikalau kenapa-kenapa.
Bibi Rina mengajakku pergi ke bukit yang ada dibelakang rumah besok pagi yang sudah pasti aku iyakan ajakannya dengan izin ayahku juga.
Tak terasa hari sudah malam, setelah bercengkrama dan makan aku pun mengantuk dan memutuskan pergi ke kamar untuk tidur.
Esok paginya, Bibi Rina membangunkan aku agar bersiap untuk pergi ke bukit. Setelah salat subuh dan ganti pakaian, kami pun pergi ke bukit.
Perjalanan dari rumah kakek dan nenek ke bukit cukup memakan waktu yang cukup lama.
Sesampainya di kaki bukit, kami berdua beristirahat disebuah warung kecil untuk membeli minuman dingin untuk menghilangkan dahaga.
Setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit yang katanya menghabiskan waktu setengah sampai satu jam.
Mendengar itu, aku sempat berpikir untuk pulang karena pasti sangat melelahkan untuk sampai sana, namun Bibi Rina terus menyemangatiku.
Bibi Rina berkata bahwa tantangan dan proses itu harus dijalani, dan itu mengingatkanku dengan kata-kata ayahku saat diperjalanan kemarin.
Aku kembali bersemangat, walaupun dengan nafas terengah-engah dan sesekali dibantu Bibi Rina untuk mendaki, aku terus berjalan.
Setelah mendaki selama setengah jam, akhirnya kami berdua sampai dipuncak bukit ini.
Alangkah takjubnya aku ketika melihat pemandangan desa ini saat pagi hari dan ditambah udara yang bersih dan sejuk.
Bibi Rina, membuka tas bawaannya dan mengeluarkan sebuah bungkusan berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya.
