Mengerti.id - Beberapa pengamat dan kalangan menengah heran, bagaimana pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming bisa unggul dalam Pilpres 2024? Bahkan, bagi mereka, kontestan nomor urut 02 ini mendapatkan suara saja dianggap kurang dapat diterima akan sehat.
Munculnya Gibran dalam kontestasi politik 2024 menimbulkan banyak pertanyaan etis, terutama bagi sebagian kalangan menengah. Skandal di Mahkamah Konstitusi dan pelanggaran etika terkait pendaftaran Gibran sebagai cawapres oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari dan anggota KPU lainnya, harusnya jadi sejumlah noda yang mempengaruhi pandangan masyarakat.
Menariknya, meskipun narasi tentang kemunduran demokrasi dan sejenisnya umumnya berasal dari kalangan menengah terdidik, fakta membuktikan sebaliknya. Menurut riset Litbang Kompas pasca Pilpres, 57,4% pemilih dengan pendidikan menengah memilih pasangan Prabowo-Gibran, dan 41,7% yang berpendidikan tinggi memilih 02. Angka ini jauh melampaui dukungan untuk pasangan 01 dan 03.
Tulisan ini tidak membahas manuver politik para politisi atau perihal kontestasi itu sendiri, tetapi merenungkan sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Pertanyaan kritis muncul: apakah masalah utama di Indonesia adalah kemunduran demokrasi?
Menurut Ulil Absor Abdala, kelompok yang mengangkat isu kemunduran demokrasi cenderung memiliki 'kesombongan terselubung', mengabaikan isu-isu lain yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Ulil ada benarnya, namun ada juga aspek yang sering terlupakan, yakni apakah masyarakat Indonesia memiliki standar norma yang sama dengan mereka yang prihatin terhadap kualitas demokrasi saat ini?
Publik disuguhi kisah soal runtuhnya demokrasi melalui narasi politik dinasti, meme tentang Mahkamah Keluarga dan sejenisnya. Mereka yang menyuguhkan kisah itu lupa jika publik yang mereka sodori adalah publik yang sudah menormalisasi praktik masuk sekolah favorit lewat 'jalur belakang', menyiapkan amplop tebal di bawah meja agar anaknya bisa kuliah di kampus ternama. Itu publik yang sama, yang rela menyogok agar bisa diterima jadi pegawai.
Jika pun ada yang marah karena anaknya gagal masuk sekolah favorit karena terjegal oleh yang main 'pintu belakang', coba telisik lebih jauh apakah benar kemarahan itu karena ketidakadilan atau lebih karena "kenapa bukan dirinya yang punya akses lewat 'pintu belakang'?"
Publik yang masih bisa diberi amplop untuk memilih kontestan politik, rasanya belum siap jika dicekoki soal nilai-nilai demokrasi.
Kelompok-kelompok yang memandang adanya keruntuhan demokrasi selama ini kebanyakan memandang publik dari menara gading, menakarnya dari satu sudut yang sempit, tanpa punya kemampuan yang mumpuni untuk masuk lebih dalam ke persoalan-persoalan dasar yang dialami dan dirasakan publik.
Mencela publik yang menerima money politic namun tanpa punya kemampuan untuk meneropong jalan keluar bagi persoalan ekonomi mereka. Memberikan ceramah mengenai etika tetapi tidak memiliki kedigdayaan untuk meneliti dan mencari solusi terhadap praktik-pratik buruk yang sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat.
Ini seperti guru Taman Kanak-Kanak (TK) yang mengajari murid-muridnya mengenai pentingnya antri, namun begitu bel sekolah berbunyi tanda pulang, murid-murid itu langsung melihat para orang tua mereka berjubel di pagar sekolah tanpa sedikitpun ada nuansa antri. Bocah-bocah itu sudah terbiasa melihat ada jarak yang sangat jauh antara moral yang diajarkan oleh sekolah dengan realitas di masyarakat.
Patut dicurigai, bisa saja masyarakat Indonesia itu bukannya tidak tahu soal demokrasi, etika politik, dan sejenisnya, namun mereka adalah generasi di mana ketika di sekolah mereka membaca dan diajari gurunya mengenai pentingnya menaati peraturan, namun di saat yang sama mereka ke sekolah dibonceng ayahnya naik sepeda motor tanpa pakai helm.
Masyarakat semacam ini tidak bisa dipandang atau dihakimi pakai kacamata benar atau salah. Semua itu terjadi dan mereka lakukan karena berbagai alasan dan berbagai faktor atau sudah masuk alam bawah sadarnya.