Paskibraka Dilarang Berjilbab dan Residu Orde Baru

photo author
- Senin, 19 Agustus 2024 | 06:51 WIB
Paskibraka (setkab.go.id)
Paskibraka (setkab.go.id)

Mengerti.id - Perjalanan jilbab di Indonesia sangat panjang. Ini bukan hanya tentang fashion atau perubahan model jilbab, tetapi berkaitan dengan hak-hak perempuan Muslim untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan keyakinannya.

Masyarakat Nusantara sudah mengenal jilbab atau penutup kepala sejak sebelum era kolonial, meskipun saat itu hanya digunakan oleh golongan tertentu. Pada masa kemerdekaan, jumlah perempuan yang mengenakan jilbab mulai meningkat, setelah pada masa kolonial pengguna jilbab sangat sedikit karena diidentikkan dengan kelompok radikal. Namun, hingga tahun 60-an, pengguna jilbab masih terbatas pada kelompok tertentu, seperti mereka yang berasal dari keluarga religius atau yang aktif dalam organisasi-organisasi Islam.

Pada era Orde Baru, terjadi ketegangan antara penguasa dengan kelompok Islam. Banyak sentimen negatif terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Islam, salah satunya adalah jilbab. Pada tahun 70-80an, jilbab ditentang keberadaannya di ruang publik.

Pemerintah, melalui Dirjen Pendidikan dan Menengah, pada tahun 1982 mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional. Implementasi dari aturan tersebut adalah pelarangan penggunaan jilbab oleh pelajar di sekolah.

Pelarangan jilbab tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, tetapi juga di instansi-instansi pemerintah dan banyak perusahaan yang melarang karyawatinya berjilbab. Pada masa itu, jilbab tidak dipandang sebagai pakaian yang berkaitan dengan pilihan religius seseorang. Jilbab dianggap oleh penguasa sebagai simbol dari kelompok yang diragukan kesetiannya terhadap negara. Meskipun Indonesia mayoritas Islam, jilbab pada saat itu diterjemahkan sebagai representasi kelompok ekstremis yang bisa mengganggu keutuhan negara.

Banyak yang melakukan protes dan menentang fenomena pelarangan jilbab tersebut. Gelombang perlawanan tidak hanya datang dari organisasi atau kelompok Islam, tetapi juga muncul dari seniman dan budayawan.

Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pada akhir 80-an hingga awal 90-an menggelar drama teater berjudul ‘Lautan Jilbab’. Ini merupakan bentuk perlawanan Cak Nun terhadap diskriminasi yang dialami perempuan yang ingin mengenakan jilbab. Pertunjukan teater ini bahkan dianggap sebagai salah satu yang terbesar karena ditonton oleh ribuan orang.

Seiring dengan semakin kuatnya gelombang protes, dinamika politik di Indonesia juga berubah, dan penguasa Orde Baru mulai mendekati kelompok Islam. Salah satu tanda meredanya ketegangan ini adalah diterbitkannya SK No. 100/C/Kep/D/1991.

Dalam aturan tersebut memang tidak secara eksplisit disebutkan diperbolehkannya penggunaan jilbab di sekolah, tetapi dinyatakan bahwa pelajar diperkenankan menggunakan “seragam khas”. Artinya, pelajar Muslimah diizinkan berpakaian sesuai dengan keyakinannya, yaitu mengenakan jilbab.

Sejak saat itu, jilbab perlahan menjadi populer di masyarakat. Perkembangan fashion juga berjalan pesat. Instansi-instansi pemerintah satu per satu mengizinkan pegawai perempuan berjilbab, dan banyak perusahaan swasta mencabut larangan penggunaan pakaian yang sesuai dengan keyakinan karyawannya. Kepolisian mengizinkan Polisi Wanita (Polwan) menggunakan jilbab, dan Kowad (tentara perempuan TNI AD) juga diperbolehkan mengenakan jilbab. Indonesia benar-benar menjadi ‘Lautan Jilbab’, seperti judul drama teater Cak Nun.

Namun, pada tahun 2024, Indonesia dikejutkan dengan peristiwa terkait 18 anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2024 yang sebelumnya menggunakan jilbab, tiba-tiba terlihat tanpa jilbab saat acara pengukuhan.

Pemandangan yang aneh ini memicu banyak pertanyaan. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang menjadi penanggung jawab Paskibraka, memberikan respon awal yang mengejutkan.

Kepala BPIP, Yudian Wahyudi, mengatakan bahwa tidak adanya anggota Paskibraka 2024 yang berjilbab disebabkan oleh kebutuhan untuk penyeragaman.

“Karena sejak awal Paskibraka itu uniform (seragam),” ujar Yudian ketika memberi pernyataan pers di Hunian Polri Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur, Rabu, 14 Agustus 2024.

Ia menyatakan bahwa keseragaman itu selaras dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang dicetuskan oleh Bapak Pendiri Bangsa, Ir. Soekarno.

Yudian menafsirkan persatuan dengan keseragaman. Ketunggalan tersebut diterjemahkan oleh BPIP dalam wujud pakaian yang seragam.

“Dia (anggota Paskibraka yang berhijab) bertugas sebagai pasukan yang menyimbolkan kebersatuan dalam kemajemukan,” katanya.

Ini merupakan ironi, sebuah lembaga yang bertugas menjaga ideologi Pancasila gagal dalam menerjemahkan Bhinneka Tunggal Ika. Ini jelas merupakan kemunduran dalam cara berpikir tentang persatuan. Persatuan berbeda dengan penyeragaman. Bhinneka Tunggal Ika adalah keberagaman yang bersatu, bukan keberagaman yang diseragamkan menjadi satu. Seharusnya, BPIP memahami hal dasar ini.

Meskipun akhirnya keputusan pelarangan jilbab untuk Paskibraka 2024 dibatalkan setelah mendapat berbagai protes dari publik, namun langkah BPIP di awal keputusan ini menggambarkan bagaimana kerangka berpikir lembaga tersebut mengenai Pancasila.

Ini bukan kali pertama dan satu-satunya kehebohan yang dibuat oleh BPIP. Pada tahun 2021, BPIP menggelar lomba karya tulis dengan tema 'Hormat Bendera Menurut Hukum Islam' dan 'Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam'. Setelah mendapat protes, tema lomba tersebut diubah.

Jika selama kepemimpinan Orde Baru sempat ada larangan, ternyata era yang katanya sudah terbuka ini masih menyisakan residu-residu dari masa itu.



79 tahun setelah Indonesia merdeka, lembaga yang konon bertugas menjaga ideologi Pancasila ternyata masih berkutat pada isu-isu seperti jilbab, hukum hormat bendera, dan sejenisnya. Pancasila seperti dipenjara oleh isu-isu komunis, khilafah, PKI, HTI, dan hal-hal seputar itu. Pancasila yang hampir berusia 80 tahun itu seharusnya sudah menyentuh isu-isu kesejahteraan rakyat, meningkatnya angka korupsi, pertanian, perubahan iklim, dan hal-hal aktual lainnya. []

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Lazuardi Ansori

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Menjadi ASN, Kebanggaan atau Pengabdian?

Minggu, 26 Oktober 2025 | 22:31 WIB

Paskibraka Dilarang Berjilbab dan Residu Orde Baru

Senin, 19 Agustus 2024 | 06:51 WIB

Cinta Kasih: Meminum Air dari Kamar Mandi

Rabu, 20 Maret 2024 | 12:02 WIB

Pemilih Gibran dan Bocah ke Sekolah Tak Pakai Helm

Kamis, 22 Februari 2024 | 09:34 WIB

Mahkamah Keluarga dan Menanti Serangan Balik Gibran

Senin, 16 Oktober 2023 | 22:39 WIB

Hiperealitas dan Fanatisme Penggemar K-Pop

Selasa, 30 Mei 2023 | 12:49 WIB

Aremania, Yang Terbaik itu Kini Terbalik

Kamis, 2 Februari 2023 | 07:11 WIB

Pancasila Tergembok di Kamar Pengap

Sabtu, 1 Oktober 2022 | 09:01 WIB
X