Mengerti.id - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membuat keputusan yang cukup kontroversial terkait Pilpres. Inti dari keputusan tersebut adalah terbukanya peluang Gibran Rakabuming Raka untuk ikut berkompetisi di Pilpres 2024 mendatang.
Banyak narasi protes terhadap keputusan tersebut. Jangan publik, salah satu Hakim Konstitusi Saldi Isra juga merasa ada keanehan dalam keputusan tersebut.
Saldi yang merupakan salah satu hakim MK menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
Ia bahkan menilai keputusan ini jauh dari batas penaran yang wajar dan baru kali ini MK bisa berubah sikap dalam waktu singkat.
“Sejak saya menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” kata Saldi di Gedung MK RI, Jakarta, Senin 16 Oktober 2023.
Mahkamah Keluarga
Opini yang kerap muncul di masyarakat menyebutkan keputusan ini dianggap berkaitan dengan Gibran, anak Presiden Joko Widodo (Jokowi). Gibran jauh sebelumnya sudah santer diwacanakan bakal maju di Pilpres 2024 sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Kejanggalan dirasa makin kental ketika publik menghubung-hubungkan status Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi. Karena ada keterkaitan hubungan keluarga ini hingga muncul plesetan Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga.
Tentu saja itu hanya perbincangan di ruang publik yang hampir mustahil dibuktikan secara empiris. Publik hanya menarik kesimpulan dari rangkaian-rangkain fakta. Hanya asumsi belaka.
Meski ini hanya sekadar asumsi publik, akan tetapi bisa berakibat fatal terhadap Gibran, Jokowi atau siapapun capres yang akan berpasangan dengan walikota Solo itu.
Gibran diharapkan bisa menarik suara pendukung loyal Jokowi. Namun rasanya saat ini sudah mulai banyak pendukung Jokowi yang rasional yang menjaga jarak. Salah satu sebab terbesarnya adalah keputusan MK ini sudah dianggap melebihi batas.
Prabowo-Gibran Yakin Bisa Menang?
Gibran dan Jokowi adalah kader PDIP, sebenarnya bisa saja berada di kubu Ganjar Pranowo yang sudah dideklarasikan sebagai capres dari partai besutan Megawati Soekarnoputri tersebut.
Akan tetapi, sejak beberapa waktu lalu para pendukung utama Ganjar sudah menggaungkan narasi negatif mengenai adanya gugatan usia capres dan cawapres di MK. Mereka seperti sudah melihat itu semua sebagai manuver politik. Bahkan muncul narasi-narasi yang berkaitan dengan ‘Politik Dinasti’ dan lain sebagainya.
Secara kalkulasi elektabilitas, Ganjar-Gibran tidak bisa meraih ceruk suara secara optimal dari kalangan muslim. Koalisi partai pendukung Ganjar hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berasal dari partai yang erat sebagai citra Islam, itupun suaranya tidak banyak. Terlebih Ganjar dan Gibran sama-sama Jawa Tengah dan keduanya juga dari kantong yang sama, PDIP.
Oleh sebab itu, satu-satunya capres yang sangat mungkin bisa dipasangkan dengan Gibran hanya Prabowo.
Prabowo dalam berbagai survei bisa saja unggul dibanding dengan kandidat lainnya. Namun perlu diingat jika Anies Baswedan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang kuat di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU) dan juga Jawa Timur. Jika Prabowo memilih Gibran, tentu kesulitan meraih kemenangan di Jawa Timur, terutama dari kalangan Nahdliyin.
Sejak Anies deklarasi berpasangan dengan Cak Imin, semua pesaing sadar bahwa suara dari warga NU dan Jawa Timur harus diraih dengan strategi khusus. Oleh sebab itu santer nama Mahfud MD, Yenny Wahid, dan Khofifah Indar Parawansa sebagai cawapres. Ketiganya dianggap perwakilan dari NU dan juga Jatim.
Kubu Ganjar bahkan belakangan sudah cukup santer terdengar melakukan pendekatan dengan Khofifah. Sebuah pilihan realistis, mengingat jika Cak Imin dibiarkan tanpa pesaing maka terlampai sulit untuk dilawan.