Oleh: Miftakhul F.S*
Arema Arema
Kami di sini Arema
Arema Arema
Kami di sini Arema
16 September 2006. Di Gelora Delta, Sidoarjo. Lagu tersebut dinyanyikan secara bersama-sama oleh Aremania yang kala itu hadir di stadion mendampingi Arema Malang melakoni laga final Copa Indonesia melawan Persipura Jayapura. Kompak sekali.
Semua Aremania, baik yang ada di tribun barat, selatan, maupun timur, satu suara, juga satu gerakan. Mengikuti komando dari sang dirigen Yuli Sumpil. Sungguh merinding mendengarkannya.
Dan itulah untuk kali pertama saya melihat dari dekat aksi Aremania. Melihat langsung di stadion. Bukan di depan layar kaca. Jujur saya sangat kagum. Apalagi, sebelum pertandingan, ketika mereka masuk stadion, dengan rapi mereka antre di pintu masuk. Membuat barisan memanjang. Tertib sekali.
Pantas saja kalau sebelum-sebelumnya saya membaca kabar kalau mereka dinobatkan sebagai suporter terbaik di Indonesia. Pantas saja kalau mereka selalu diterima dengan hangat di banyak stadion di negeri ini. Pantas saja aksi mereka dijadikan contoh oleh banyak kelompok suporter lainnya.
Dengan apa yang saya lihat di Gelora Delta ketika itu, Aremania memang pantas mendapatkan itu semua. Sangat pantas bahkan.
Tapi, saat waktu terus berjalan, Aremania justru stagnan. Bahkan, malah berlaku surut. Yang terbaik itu kini terbalik.
Sepertinya Arek-Arek Malang terlena dengan pujian yang terus menghampiri mereka. Terlena dengan nama besarnya. Aremania juga terjebak dalam kebencian yang kadung tertanam di hati mereka. Kebencian kepada suporter Persebaya Surabaya.
Di setiap pertandingan Arema, mereka seakan tak pernah alpa untuk mengumandangkan lagu kebencian kepada rivalnya. Ya, di setiap pertandingan. Bukan hanya saat Arema bersua Persebaya saja.
Dan lagu-lagu kebencian itu bukan saja dilantangkan di rumah mereka: Stadion Gajayana maupun Stadion Kanjuruhan, Malang. Lagu kebencian tersebut juga mereka nyanyikan ketika bertamu ke stadion-stadion lainnya. Aremania seperti tak menyadari kalau lagu kebencian yang mereka nyanyikan itu membuat suporter tuan rumah merasa tak nyaman. Merasa hubungan baik yang mulai, tengah, atau bahkan sudah dirajut dengan suporter Persebaya bisa terganggu. Dan sekali lagi, Aremania seakan tak menyadari itu. Bahkan, ketika ada pengingat tegas yang datang dari salah satu kelompok suporter di Kalimantan Timur.
Kalau males mengingat soal peringatan tersebut, coba cari saja di mesin pencari informasi, teman-teman Aremania pasti menemukannya.
Ketika Aremania tidak juga menyadari itu semua, mereka selalu saja lebih memilih menuding kelompok suporter lain saat terjadi insiden yang melibatkan mereka. Dengan gampang mereka mengarahkan telunjuk ke suporter lain sebagai biang keladi di balik insiden yang terjadi. Mereka alpa untuk melihat dirinya sendiri. Aremania alpa untuk mengkoreksi diri kenapa kini mereka tak lagi disambut hangat di banyak stadion seperti dulu lagi.
Dan saat Aremania masih terjebak dalam kebencian itu, semangat mereka untuk melangkah ke stadion juga telah surut. Dalam beberapa tahun terakhir, Stadion Gajayana maupun Stadion Kanjuruhan seringkali terlihat sepi pada hari pertandingan. Stadion baru penuh sesak ketika Malang kedatangan tamu kesebelasan-kesebelasan besar. Seperti Persebaya, Persija Jakarta, atau Persib Bandung.