Mengerti.id - Banyak orang memanfaatkan bulan Ramadhan untuk melakukan kegiatan yang dianggap memiliki nilai religius, termasuk maraknya pembagian video atau artikel ceramah di media sosial, terutama di dalam grup-grup WhatsApp.
Tidak jarang pembagian tersebut kemudian memicu diskusi panjang, terutama jika materi yang dibagikan adalah topik yang sebenarnya khilafiyah atau kontroversial.
Bahkan pada satu waktu, percakapan di ruang publik yang membernya heterogen seringkali tidak dapat disebut sebagai diskusi, melainkan sebagai upaya untuk merasa bahwa pendapatnya adalah yang paling benar. Dalam situasi semacam ini, merasa bahwa pendapatnya adalah yang paling benar saja belum cukup. Terkadang, ada suatu kebutuhan akan pengakuan dari orang lain: merasa bahwa keyakinannya benar jika pihak lain juga ikut mempercayainya.
Ini adalah kesan yang didapat dari anggota grup lain, meskipun yang terlibat dalam perdebatan mungkin tidak merasakan hal yang sama. Bahkan, ada yang menolak untuk mengakui hal tersebut. Denial. Ini adalah reaksi yang wajar, karena dalam fenomena seperti ini dalam psikologi dikenal sebagai "bias konfirmasi" dan "disonansi kognitif".
Bias konfirmasi adalah kecenderungan manusia untuk mencari, mengingat, dan memperhatikan informasi yang memperkuat keyakinan atau pendapat yang sudah ada, sementara mengabaikan atau mengesampingkan informasi yang bertentangan dengan keyakinan tersebut.
Disonansi kognitif adalah ketidaknyamanan psikologis yang muncul ketika seseorang menyadari adanya konflik antara keyakinan, sikap, atau perilaku mereka. Sebagai contoh, seseorang yang berdebat dengan keras mungkin mengalami disonansi kognitif ketika diingatkan bahwa sikap keras kepala mereka tidak sesuai dengan gambaran diri mereka sebagai individu yang terbuka terhadap ide dan pandangan baru. Untuk mengurangi disonansi ini, mereka mungkin cenderung menolak atau meremehkan saran atau kritik yang diberikan kepada mereka.
Dengan semakin terbukanya era teknologi komunikasi seperti saat ini, peluang untuk terjadi pertentangan antar keyakinan di ruang publik semakin meningkat. Ceramah-ceramah yang pada awalnya ditujukan untuk kalangan internal sebuah kelompok, dengan mudah merambah ke ruang terbuka yang mungkin memiliki pandangan yang berbeda.
Pada awalnya, pada era ini, orang yang menyebarkan ceramah internal ke ruang publik dianggap tidak bijaksana. Hal ini karena dalam ceramah tersebut terdapat materi yang dapat menyinggung kelompok, golongan, atau aliran yang berbeda.
Namun, belakangan ini, hampir tidak mungkin untuk menghentikan penyebaran ceramah-ceramah semacam itu. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan informasi akan mendorong semua orang untuk secara bebas menyebarkan apa yang mereka yakini. Hampir tidak mungkin untuk mengharapkan agar konten-konten agama disajikan seperti pada majalah-majalah umum tempo dulu, di mana jika menjawab atau membahas hal-hal fiqh, penulis artikel atau ustad yang menjelaskan akan menyampaikan beberapa pandangan ulama dan aliran jika yang dijelaskan tersebut memang sesuatu yang khilafiyah atau kontroversial.
Saat ini, audiens yang harus memiliki kedewasaan dan kearifan dalam menerima atau melihat ceramah-ceramah di media sosial yang mungkin tidak sejalan dengan keyakinan mereka.
Sebagai contoh, jika ada yang mengkritik sebuah amalan, maka yang dikritik hendaknya menerima kritik tersebut dengan lapang dada. Pahami bahwa keyakinan pengkritik mungkin berbeda.
Sebaliknya, jika ada yang membela amalan tersebut dan menyangkal bahwa itu adalah bagian dari bid'ah misalnya, maka terimalah pendapat tersebut dengan sikap santai. Anggaplah itu sebagai sebuah pendapat yang mereka yakini dalam beribadah.
Yang harus diperhatikan sekarang adalah kesadaran untuk tidak terjebak dalam "bias konfirmasi" dan atau "disonansi kognitif". Selalu berhati-hati dan waspada terhadap diri sendiri, bukan terhadap pendapat orang lain.
Yang harus dipupuk sekarang adalah kesadaran bahwa dalam hal beragama, mungkin saja "Aku betul, Anda pun benar". Seseorang bisa benar tanpa menyalahkan orang lain. Seseorang masih tetap bisa benar dengan membiarkan orang lain dengan kebenaran yang diyakininya.
Beberapa tahun yang lalu, viral sebuah video seorang balita membawa segelas air kepada ayahnya yang sedang bekerja. Sang Ayah meminum air tersebut dengan rasa haru, karena anaknya dianggap sangat perhatian dan sayang padanya. Namun, baru di akhir video diketahui bahwa balita itu mengambil air dari kamar mandi, bukan air yang layak diminum.
Jika peristiwa ini dinilai dari sudut pandang benar dan salah, tentu banyak yang akan menganggap bahwa anak tersebut melakukan kesalahan karena memberikan air yang tidak layak diminum. Namun, ada opsi lain untuk melihat peristiwa tersebut, yaitu dengan menggunakan kacamata cinta kasih.***