Negara Boleh Memutuskan, Tapi Masyarakat Punya Cara Sendiri Menentukan Siapa yang Pahlawan

photo author
- Rabu, 12 November 2025 | 10:01 WIB
Ilustrasi: Pahlawan (Gambar Dibuat dengan AI oleh Tim Mengerti.id)
Ilustrasi: Pahlawan (Gambar Dibuat dengan AI oleh Tim Mengerti.id)

Mengerti.id - Sekitar seminggu lalu, saya menghadiri sebuah forum diskusi yang diikuti oleh banyak anak muda dan mahasiswa. Dari semua peserta yang hadir, hanya ada dua orang yang usianya di atas 40 tahun, salah satunya saya, bersama seorang senior di komunitas itu. Salah satu pertanyaan yang diajukan kepada saya adalah tentang kapan dan bagaimana saya mulai berpikir progresif.

Pertanyaan itu membuat saya terdiam sejenak. Rasanya berlebihan jika saat ini saya dianggap berpikirnya progresif. Tapi saya bisa memahami arah dari pertanyaan itu. Saya lalu bercerita tentang sebuah buku yang saya pinjam dari teman SMA. Buku itu membuka cakrawala berpikir saya. Sejak SD hingga SMP, saya tumbuh di kampung dengan keterbatasan literasi, sehingga wawasan saya cukup sempit. Saat SMA, buku itu memberi gambaran lain tentang banyak hal, dan sejak saat itu saya terus membaca karya-karya penulisnya.

Dalam konteks ini, penulis itu adalah "pahlawan" bagi saya, sosok yang pikiran-pikirannya banyak saya serap. Ada banyak penulis lain yang juga mempengaruhi cara berpikir saya sekarang, tapi kalau harus menyebut satu nama yang pertama membuka jalan, ya dia.

Saya kemudian menegaskan kepada peserta forum bahwa setiap orang memiliki momentum untuk bertubuh secara cepat dan pahlawannya sendiri. Bahkan jika beberapa orang mengagumi sosok yang sama, alasan dan pengalaman mereka bisa sangat berbeda. Pertemuan dengan "pahlawan" itu selalu personal, selalu subjektif.

Satu per satu, peserta lain mulai bercerita tentang sosok yang mereka kagumi. Pintu masuk mereka beragam, meski beberapa mengarah pada tokoh yang sama. Di situ terlihat, konsep "pahlawan" memang sangat pribadi dan kontekstual.

Secara psikologis dan sosiologis, benar bahwa makna "pahlawan" bersifat subjektif. Tapi ketika istilah itu masuk ke ranah publik, muncul kebutuhan akan kesepakatan bersama tentang nilai, moral, dan kontribusi. Meski alasan kekaguman berbeda, masyarakat bisa saja sepakat bahwa seseorang layak disebut pahlawan karena dianggap membawa manfaat besar bagi kemanusiaan atau bangsanya.

Pertanyaannya, bagaimana menemukan kesepakatan sosial di tengah keberagaman subjektivitas manusia? Di sinilah kita berhadapan dengan dilema klasik dalam filsafat moral dan politik: bagaimana menyeimbangkan antara pengalaman personal dan kebutuhan akan nilai bersama?

Hal paling realistis adalah memulai dari satu premis utama: kesepakatan sosial tidak lahir dari keseragaman pandangan, melainkan dari proses negosiasi antar nilai. Tidak semua harus memiliki rasa yang sama terhadap seorang tokoh; yang penting adalah apakah sosok itu masih berada dalam batas nilai yang dapat diterima bersama.

Di situ terbuka ruang kompromi. Dalam banyak kasus, keburukan seorang tokoh "dimaafkan" karena kontribusinya dianggap jauh lebih besar dari kesalahannya. Ini bagian dari kalkulasi moral sosial yang tak pernah sederhana. Apalagi nilai moral masyarakat selalu berubah mengikuti zaman.

Sementara itu, publik memiliki mekanisme organik untuk menyesuaikan diri. Kesepakatan sosial bukanlah titik akhir yang statis, melainkan proses yang terus bergerak dan menyesuaikan diri dengan konteks zaman serta kesadaran kolektif yang baru.

Semua proses itu bekerja di ranah otoritas moral, wilayah yang hidup di dalam kesadaran masyarakat. Tapi di luar itu, ada otoritas lain yang memiliki kuasa legal: otoritas politik. Pemerintah adalah pihak yang secara resmi berwenang menetapkan siapa yang layak disebut pahlawan nasional.

Idealnya, keputusan pemerintah bersifat representatif, selaras dengan kehendak kolektif masyarakat. Pemerintah seharusnya tidak menjadi penentu tunggal, melainkan pelaksana aspirasi publik. Sayangnya, dalam praktiknya, keputusan itu sering kali dipengaruhi kepentingan politik dan pertimbangan sektoral. Negara akhirnya bukan hanya mengatur kekuasaan politik, tapi juga mengontrol cara masyarakat mengingat masa lalu. Dengan cara itu, pemerintah dapat membentuk "pahlawan resmi" sesuai dengan versi sejarahnya sendiri.

Filsuf Prancis Michel Foucault menyebut hal ini sebagai regime of truth. Kekuasaan, katanya, tidak hanya bersifat menekan, tetapi juga produktif karena membentuk realitas sosial, termasuk norma, rasionalitas, bahkan kebenaran itu sendiri. Negara punya kurikulum pendidikan, hak menentukan narasi sejarah, dan kuasa dalam menyeleksi ingatan publik. Mereka yang memegang kekuasaan itulah yang menetapkan apa yang dianggap "benar" dan "layak diingat."

Meski begitu, masyarakat kini punya peluang baru untuk menantang hegemoni semacam itu. Internet dan media sosial membuka ruang bagi publik untuk membongkar manipulasi sejarah, menyebarkan versi lain dari peristiwa, dan menghidupkan kembali sosok yang dilupakan negara. Dalam konteks ini, kendali negara atas ingatan kolektif berpeluang untuk digoyah.

Namun keterbukaan informasi juga membawa paradoks baru: fragmentasi kebenaran. Tiap kelompok menciptakan gelembung narasi sendiri, lengkap dengan "kebenaran" versinya masing-masing. Alih-alih satu versi sejarah yang dominan, kita hidup di tengah banyak kebenaran yang saling bersaing. Di satu sisi, ini memberi ruang bagi kebebasan berpikir; di sisi lain, menciptakan kebingungan kolektif.

Bagi penguasa, kondisi ini justru menguntungkan. Kebisingan informasi bisa menenggelamkan kritik dan membuat publik kehabisan energi untuk menelaah mana fakta dan mana opini. Ini strategi yang dikenal sebagai manufactured confusion atau flooding tactics, membuat kebingungan begitu besar hingga kebenaran kehilangan arah.

Benturan antara otoritas politik dan otoritas moral akan terus berlangsung. Otoritas politik punya legitimasi hukum untuk menetapkan siapa pahlawan nasional, sementara otoritas moral tumbuh dari pengalaman kolektif dan ingatan emosional, sesuatu yang jauh lebih hidup dan sulit dikontrol oleh keputusan resmi.

Dilema ini memang tidak mudah diurai. Pahlawan selalu lahir dari konteks sosial dan politik tertentu, sehingga setiap penetapan oleh negara hampir pasti mengandung kepentingan zaman. Tapi masyarakat pun memiliki mekanisme sosial sendiri untuk menentukan siapa yang layak dihormati. Tanpa legitimasi pemerintah, publik telah lama menganggap Marsinah atau Munir sebagai pahlawan, contoh bagaimana otoritas moral publik dapat hidup berdampingan, bahkan menantang otoritas politik.

Lalu pertanyaan pun muncul: apakah negara masih pantas menjadi penentu tunggal makna kepahlawanan di tengah masyarakat yang semakin sadar dan mampu membangun narasinya sendiri?***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Lazuardi Ansori

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Menjadi ASN, Kebanggaan atau Pengabdian?

Minggu, 26 Oktober 2025 | 22:31 WIB

Paskibraka Dilarang Berjilbab dan Residu Orde Baru

Senin, 19 Agustus 2024 | 06:51 WIB

Cinta Kasih: Meminum Air dari Kamar Mandi

Rabu, 20 Maret 2024 | 12:02 WIB

Pemilih Gibran dan Bocah ke Sekolah Tak Pakai Helm

Kamis, 22 Februari 2024 | 09:34 WIB

Mahkamah Keluarga dan Menanti Serangan Balik Gibran

Senin, 16 Oktober 2023 | 22:39 WIB

Hiperealitas dan Fanatisme Penggemar K-Pop

Selasa, 30 Mei 2023 | 12:49 WIB

Aremania, Yang Terbaik itu Kini Terbalik

Kamis, 2 Februari 2023 | 07:11 WIB

Pancasila Tergembok di Kamar Pengap

Sabtu, 1 Oktober 2022 | 09:01 WIB
X