kolom

Menjadi ASN, Kebanggaan atau Pengabdian?

Minggu, 26 Oktober 2025 | 22:31 WIB
Ilustrasi. Banyak lulusan muda yang berlomba menjadi ASN demi stabilitas hidup. Tulisan ini mengajak kita berpikir ulang tentang makna sukses dan peran pendidikan dalam membentuk pilihan karier. (Freepik/syarifahbrit)

Oleh : Dapit Yusra Kusuma

Mengerti.id - 
Siang tadi, salah satu rekan sejawat memposting keberhasilan anaknya meraih juara pada salah satu lomba tingkat nasional. Sontak hampir semua teman sejawat ikut merasakan kebahagiaan dan kesuksesan tersebut seraya berdoa “semoga sukses ya”. Ada pula yang membalas postingan tersebut dengan kalimat “mantap, semoga barokah”, lalu beberapa kawan yang lain menyautinya dengan kata singkat yang biasa disebut pada saat doa bersama, yaitu “amin”.

Dari sekian banyak komentar yang muncul, hanya saya yang berkomentar “semoga cepat lulus dan jadi PNS”. Komentar saya tersebut tentu bukan tanpa alasan. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh validnews.id pada Januari 2022, lebih dari 60% dari 890 responden dengan rentang usia 15–35 tahun memiliki keinginan untuk menjadi PNS.

Fakta ini juga pernah saya alami ketika bertemu adik kelas saya di sebuah ruang tamu kantor pemerintahan di Kota Surabaya beberapa tahun lalu. Di antara tumpukan map dokumen, entah berkas penting atau tidak, yang warnanya mulai menguning, ada tawa bangga dari teman saya yang baru saja lulus dan kebetulan diterima menjadi ASN di Pemprov Surabaya. Ia mengatakan, “Saya memilih jalur PNS bukan hanya karena gaji atau pensiun, Mas, tapi ingin bisa ‘aman secara finansial’ sambil memberi manfaat bagi rakyat.” Cerita seru tersebut dilanjutkan tentang kisah suka duka dan perjuangan menaklukkan tes CAT yang saat ini dianggap paling bisa menggambarkan kemampuan akademik seseorang untuk menjadi Abdi Negara. Cerita kecil ini sepertinya dapat mewakili pengalaman ribuan anak muda di seluruh Indonesia.

Data resmi Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan bahwa jumlah pendaftar seleksi CPNS 2024 mencapai 3.963.832 orang pada 17 September 2024. Dari total itu, lebih dari 3 juta orang telah lolos verifikasi administrasi dan siap mengikuti tahapan Seleksi Kompetensi Dasar (SKD). Angka ini mengindikasikan bahwa memori kolektif masyarakat kita bahwa menjadi PNS adalah jalur “pasti” masih sangat kuat.

Sebuah media mencatat bahwa instansi seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menerima 567.552 pelamar pada CPNS 2024. Bahkan di tingkat daerah, misalnya Provinsi Jawa Timur, formasi yang terbuka pada tahun 2024 hanya 2.314, namun pelamar tercatat sebanyak 29.777 orang.

Dengan demikian, persaingan bukan hanya soal kapasitas, tapi juga soal pilihan karier yang diakui atau tidak masih difavoritkan pada jalur PNS.

Bagi banyak lulusan sarjana baru, jalur PNS menawarkan beberapa hal. Pertama, rasa aman dan penghormatan sosial. Dalam budaya kita, jabatan pada sebuah instansi pemerintah masih dilihat sebagai simbol stabilitas dan prestise keluarga. Selain itu, menjadi abdi negara tidak akan dikejar target akhir bulan layaknya bekerja di perusahaan finance atau retail yang berorientasi pada target penjualan barang.

Kedua, pengakuan formal terhadap keahlian. Banyak jabatan ASN memang mensyaratkan latar belakang sarjana baik humaniora maupun eksakta. Fakta di masyarakat kita terhadap pengakuan atas seorang perawat, misalnya, akan tetap dianggap bahwa yang sudah PNS memiliki kapasitas lebih daripada perawat non-PNS. Begitu pula tenaga pendidik. Guru yang sudah tetap akan dianggap lebih piawai dibandingkan para honorer.

Ketiga, adanya harapan bahwa hanya dengan menjadi pelayan publik mampu memberi dampak kepada masyarakat luas. Lulusan perguruan tinggi kerap merasa bahwa bekerja di pemerintahan memberi peluang untuk melayani masyarakat, meski sistem kerja terkadang tidak sesuai dengan idealisme yang dibangun saat mereka berjibaku dengan buku di bangku kuliah.

Di balik keinginan mulia itu, ada realitas yang perlu disadari. Ketersediaan formasi dan seleksi yang ketat membuat tidak semua lulusan berprestasi akan terwadahi dalam instansi pemerintah.

Pada sebuah instansi, walaupun banyak yang melamar, formasi yang tersedia sangat terbatas. Dengan ratusan ribu pelamar untuk ribuan formasi, peluang lolos menjadi sangat kecil.

BKN sendiri mengungkap bahwa masih terdapat disparitas antara kebutuhan jabatan dan kualifikasi pendidikan, termasuk untuk lulusan sarjana yang mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan jabatan birokrasi teknis, medis, dan formasi umum lainnya.

Solusi yang bisa digerakkan oleh universitas dan lembaga pendidikan menjadi hal penting untuk menjembatani harapan dan realitas. Orientasi karier sejak dini perlu ditekankan pada para mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di kampus. Apalagi pada rumpun ilmu humaniora yang selama kuliah tidak pernah bertemu dengan mata kuliah matematika dasar seperti aritmetika, aljabar, dan geometri. Sementara pada saat ujian CPNS, soal-soal tersebut selalu menjadi prioritas dan indikator utama untuk menunjukkan tingkat kemampuan berpikir seseorang.

Sudah saatnya kampus sebagai lembaga pendidik menggeser minat mahasiswanya, bukan hanya “kamu bisa jadi PNS”, tapi “jenis pekerjaan apa yang bisa kamu jalani?”. Workshop karier, alumni sharing tentang pilihan selain birokrasi, cukup penting untuk memberi perspektif yang luas.

Penguatan kurikulum sekolah yang relevan pada tingkatan sekolah menengah dan atas lebih penting daripada sekadar urusan zonasi yang ternyata tidak memberikan dampak positif pada lembaga pendidikan secara umum.

Pada era perkuliahan, harapannya agar ilmu yang diajarkan di kampus tidak berhenti pada teori saja, tetapi diarahkan agar mahasiswa memiliki sensitivitas sosial dan ekonomi agar bisa menjadi aktor perubahan; proyek komunitas, riset terapan, kemitraan publik-swasta. Begitu mereka paham bahwa keahlian mereka bisa diterapkan di banyak tempat, maka jalur karier pun akan meluas dengan sendirinya.

Banyak kisah sukses para sarjana yang memilih jalan wirausaha. Bagaimana kesuksesan Bukalapak, misalnya. Bahkan banyak eksportir muda yang sukses menjadi raja ekonomi baru di berbagai daerah. Dalam hal ini, kampus bisa mendukung mereka untuk memulai usaha atau startup berbasis kebutuhan masyarakat, bukan hanya menantikan panggilan menjadi abdi negara.

Kepekaan sosial ekonomi perlu ditingkatkan dan dibangun atas kesadaran sebagai agen perubahan, bukan dalam arti sebagai komponen perubahan politik semata.

Kerja di pemerintahan memang mulia, tapi keberhasilan tidak hanya diukur dari status. Alumni yang memilih menjadi aktivis, konsultan, atau pengusaha juga layak disorot sebagai inspirasi.

Pilihan menjadi PNS oleh para pemuda bahkan para sarjana bukanlah sesuatu yang negatif, justru bisa menjadi pintu masuk yang paripurna untuk kebermanfaatan kepada masyarakat. Tapi yang lebih penting adalah bahwa pilihan itu beragam dan bebas, bukan hanya karena “itu yang tersedia”.

Dengan pemahaman luas dan kesiapan, lulusan universitas bisa menjelajah banyak jalan, baik di birokrasi, sektor swasta, NGO, hingga kewirausahaan dengan tetap memberi kontribusi besar bagi masyarakat.

Di sisi kampus dan lembaga pendidikan, tugas kita adalah memastikan bahwa jalan itu terbuka, bukan hanya satu. Agar lulusan tidak hanya mengejar status dan kenyamanan, tetapi menghidupi panggilan hati dan bakat mereka dengan cara yang paling sesuai dan produktif.

Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan refleksi bagi fakultas, mahasiswa, maupun pembuat kebijakan pendidikan tinggi untuk semakin meningkatkan kepekaan sosial ekonomi dan semangat entrepreneurship para sarjana yang baru saja lulus dari universitas. Amin.***

Terkini

Menjadi ASN, Kebanggaan atau Pengabdian?

Minggu, 26 Oktober 2025 | 22:31 WIB

Paskibraka Dilarang Berjilbab dan Residu Orde Baru

Senin, 19 Agustus 2024 | 06:51 WIB

Cinta Kasih: Meminum Air dari Kamar Mandi

Rabu, 20 Maret 2024 | 12:02 WIB

Pemilih Gibran dan Bocah ke Sekolah Tak Pakai Helm

Kamis, 22 Februari 2024 | 09:34 WIB

Mahkamah Keluarga dan Menanti Serangan Balik Gibran

Senin, 16 Oktober 2023 | 22:39 WIB

Hiperealitas dan Fanatisme Penggemar K-Pop

Selasa, 30 Mei 2023 | 12:49 WIB

Aremania, Yang Terbaik itu Kini Terbalik

Kamis, 2 Februari 2023 | 07:11 WIB

Pancasila Tergembok di Kamar Pengap

Sabtu, 1 Oktober 2022 | 09:01 WIB