Saya sempat merasakan situasi itu awal tahun 2020. Saat gelaran Piala Gubernur Jawa Timur 2020. Ketika Arema FC menjamu Sabah FA, kesebelasan asal Malaysia, penonton yang hadir di Stadion Kanjuruhan hanya 6.748. Jumlahnya turun hampir separo ketika Arema FC bertanding melawan Persela Lamongan dua hari kemudian. Saat itu yang datang ke stadion cuma 3.662.
Jumlah tersebut berbanding terbalik kala Arema FC melakoni laga kontra Persija. Pertandingan itu dihadiri hampir 30 ribu penonton. Saya sempat berbincang dengan Sudarmadji perihal itu suatu sore di Stadion Kanjuruhan. Media Officer Arema FC itu menyebut suporter di Malang itu kultural. Bukan model ajakan. "Mereka selektif ketika hendak datang menonton ke stadion," katanya.
Sudarmadji menambahkan situasi tersebut bukan hanya terjadi satu-dua tahun. "Tren ini terjadi mulai 2011. Atau setelah kami mendatangkan tim-tim luar negeri untuk berujicoba di Kanjuruhan," sebutnya.
Bisa jadi argumentasi itu tidak salah. Tapi, faktor dualisme Arema rasanya juga sangat berpengaruh. Beberapa tahun belakangan, Arema tak hanya satu versi. Tapi, ada Arema FC -sempat bernama Arema Cronus- dan Arema Indonesia. Dualisme itu menjadikan Aremania terbelah. Bukan hanya menjadi dua arus besar, namun tiga arus. Satu arus mendukung Arema Indonesia, satu lagi mendukung Arema FC, dan satu arus lainnya memilih gantung syal. Memilih tak mendukung salah satu dari dua kesebelasan yang mengatasnamakan Arema itu.
Di titik ini, rasanya Aremania gagal bersikap. Gagal menemukan identitas sejatinya tentang kesebelasan kebanggaannya. Berlarut-larutnya dualisme menjadi bukti paling nyata. Sebagai "pemilik" sah Arema, seharusnya merekalah yang berdiri di baris depan agar hanya ada satu nama Arema. Arema Malang.
Dan Aremania seperti tak menyadari kalau mereka menjadi bahan guyonan banyak suporter di Indonesia dengan dualisme Arema yang berlarut-larut. Sebaliknya, Aremania tetap pongah. Merasa masih yang terbaik. Dan seperti yang sudah-sudah, bukannya instrospeksi diri, Aremania malah lebih senang mengarahkan telunjuknya ke suporter lain sebagai pihak di balik muncul guyonan itu.
Aremania tetap saja enggan melihat dirinya. Enggan berkaca kalau ada yang tidak tepat di dalam diri mereka. Hingga kemudian terjadi Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022. Tragedi yang teramat sangat memilukan. 135 orang meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan. 135 itu bukan deret angka. Tapi itu nyawa manusia.
Tragedi Kanjuruhan memang tak bisa dilepaskan dari kebrutalan aparat keamanan melepaskan tembakan gas air mata. Tembakan yang memicu kepanikan di tribun. Tembakan yang membuat satu sama lainnya berebut jalan keluar stadion. Fatalnya, kepanikan itu menjadikan satu sama lain saling injak ketika kondisi mata mereka pedih dan nafas tersenggal. Kematian ratusan orang kemudian menjadi cerita pilu yang tak akan terlupakan.
Tragedi Kanjuruhan memang tak bisa lepas dari kebrutalan aparat melepaskan tembakan gas air mata. Tapi, akar dari yang terjadi di Kanjuruhan malam itu adalah kebencian. Kebencian Aremania kepada suporter Persebaya. Kebencian yang kemudian menggerakkan mereka berbondong-bondong ke stadion. Kebencian yang kemudian mendorong mereka turun ke lapangan ketika kesebelasan kebanggaan mereka dikalahkan oleh kesebelasan yang selama ini ada di seberang mata dan hati Aremania.
Kalau tak ada kebencian, tak mungkin ada aksi turun ke lapangan. Toh, sebelum dikalahkan Persebaya malam itu, dua kali kesebelasan tamu menang di Stadion Kanjuruhan di tahun 2022.
Tragedi Kanjuruhan seharusnya bisa menjadi titik balik bagi Arek Malang untuk bersatu. Menjadi momentum untuk mawas diri dan merajut hubungan hangat dengan yang lainnya. Seperti halnya yang dilakukan kelompok suporter lainnya.
Tapi apa yang terjadi. Ketika pasca Tragedi Kanjuruhan suporter di Tlatah Mataram -suporter Persis Solo, PSIM Jogja, dan PSS Sleman- memilih duduk bersama sekaligus berdamai, saat suporter Persija Jakarta dan Persib Bandung saling berangkulan, dan kala Bonek -suporter Persebaya- telah menurunkan egonya, lagi-lagi Aremania malah masih membusungkan dada. Menegaskan kalau bisa berdiri dan berjalan sendiri.
Aremania masih saja merasa yang terbaik. Mereka seakan masih tak sadar kalau kondisinya sudah jauh terbalik. Dan kenyataan di lapangan dengan jelas menegaskan itu. Langkah mereka tak solid. Sebagian besar dari mereka juga gagal bersikap.
Dan apakah selama ini tidak terbersit di benak Arek Malang (Aremania) kalau rentetan kejadian yang menimpa mereka selama ini adalah cara Tuhan untuk mengingatkan mereka kalau ada salah dalam diri mereka?
Apakah selama ini tidak terbersit dalam benak Arek Malang kalau rentetan kejadian selama ini merupakan cara Tuhan mengingatkan mereka bahwa Arema (seharusnya) hanya satu?